Beberapa Distro Linux yang Pernah Saya Coba

diupdate pada November 2025
 
Saya cukup sering mencoba berbagai distro Linux untuk membandingkan kinerja dan pengalaman penggunaannya. Berikut ini rangkuman poin-poin yang saya sukai dan tidak saya sukai dari sejumlah distro Linux yang pernah saya coba.

Ubuntu (dan turunannya)

Ubuntu 25.10

Yang saya sukai dari Ubuntu :
- Dukungan perangkat keras, ketika menggunakan hardware mainstream saya tidak pernah mengalami masalah perangkat keras tidak dikenali oleh Ubuntu. Pemasangan dan konfigurasi driver perangkat kerasnya bagus.
- Dukungan perangkat lunak, hampir semua pengembang perangkat lunak populer menyediakan native package .deb untuk menginstall perangkat lunaknya di Ubuntu.

Yang saya tidak sukai dari Ubuntu :
- Snap, instalasi perangkat lunak menggunakan snap cukup lama (terasa kurang sat-set) dan menghabiskan storage yang besar.
- Ukuran file .iso meningkat secara signifikan sejak versi 24.04 yaitu menjadi 6 GB (Ubuntu standar, DE Gnome).

Debian

Debian Trixie dengan desktop Gnome

Yang saya sukai dari Debian :
- Dukungan perangkat lunak, hampir semua pengembang perangkat lunak populer menyediakan native package .deb untuk menginstall perangkat lunaknya di Debian. Jumlah package perangkat lunak yang tersedia di repository nya sangat banyak.

Yang saya tidak sukai dari Debian :
- Boring, relatif tidak ada gebrakan / inovasi baru karena program-program yang tersedia di Debian stable bukan versi yang terbaru. Sebenarnya ini bukan masalah karena memang Debian mengorbankan kebaruan demi stabilitas. Namun ini tidak cocok untuk pengguna yang berorientasi ke inovasi.
- Tidak cocok untuk pengguna yang suka gonta-ganti desktop environment (DE), misal mau menghapus DE perlu kehati-hatian karena kadang ada dependensi yang dipakai di DE atau window manager (WM) lain. Selain itu juga tidak cocok untuk pengguna yang ingin melakukan eksplorasi di wayland, pilihan wayland compositor populer misalnya hyprland atau niri belum disediakan di repo resmi Debian stable.

MX Linux 


Yang saya sukai dari MX Linux :
- Dilengkapi dengan MX tools yang berguna untuk sejumlah task misalnya melakukan backup data dan membuat file .iso dari instalasi MX Linux yang ada.
- Punya segala kelebihan dari distro induknya yaitu Debian.

Yang saya tidak sukai dari MX Linux :
- Posisi panel MX Linux desktop Xfce di sebelah kiri layar tidak biasa bagi saya karena berbeda dengan Xfce default. Tapi bisa kita ubah sendiri sih.
- Theme tampilan Xfce bawaannya terasa kurang bagus.

Linux Mint


Yang saya sukai dari Linux Mint :
- Punya semua hal positif yang ada di Ubuntu
- Ada sejumlah aplikasi yang dibuat khusus untuk Linux Mint yang disebut sebagai XApps misalnya Pix, aplikasinya ringan dan tidak tergantung pada dependensi Gnome.
- Tidak ada snap.

Yang saya tidak sukai dari Linux Mint :
- Mulai versi 22 agak nambah konsumsi RAMnya.
- Linux Mint Xfce tampilan defaultnya bisa berubah kalau salah update.

Opensuse Tumbleweed

Yang saya sukai dari Opensuse Tumbleweed :
- Bleeding edge / rolling release distro, tidak perlu install ulang tiap upgrade versi dan mendapat aplikasi versi baru.
- Just work, instalasi defaultnya sudah sangat memenuhi kebutuhan, tidak perlu setting dan utak-atik konfigurasi tambahan secara manual.
- YasT, semua konfigurasi bisa dilakukan lewat GUI melalui program YasT yang sangat memudahkan bagi pengguna yang tidak mau repot buka terminal.

Yang saya tidak sukai dari Opensuse Tumbleweed :
- Update program tidak sesering rolling release distro lain seperti misalnya Archlinux. Namun ini bisa jadi kelebihan juga karena proses testing package lebih panjang, jaminan tidak terjadi crash lebih baik.

Fedora

Yang saya sukai dari Fedora :
- Dukungan RedHat membuat distro ini terasa profesional dan terstandarisasi. Menggunakan Fedora secara tidak langsung berasa seperti menggunakan distro RedHat, fitur-fiturnya diarahkan sebagai OS untuk server yang dipakai dalam bisnis sebuah perusahaan namun juga cocok dipakai sebagai OS desktop.

Yang saya tidak sukai dari Fedora :
- Sejumlah instalasi perangkat lunak yang berorientasi pada security misalnya SELinux, buat saya terasa bagaikan bloatware. Untuk penggunaan sebagai server memang SELinux dirasa perlu, namun untuk keperluan pribadi terasa SELinux malah bikin repot.
- Konsumsi RAM cukup banyak akibat sejumlah daemon yang otomatis dijalankan.

Archlinux

Yang saya sukai dari Archlinux :
- Wiki Archlinux sangat bagus dan lengkap. Tidak jarang pula masalah yang saya temui di distro lain dapat diselesaikan setelah saya membaca panduan di wiki Archlinux. Konten wikinya juga konsisten, apa yang ditulis kalau dipraktekkan lebih dari 90% berhasil.
- Proses download package saat instalasi perangkat lunak terasa cepat, menurut saya yang paling cepat di antara distro lain. Hal ini karena kompresi package yang bagus serta dukungan repository lokal Indonesia yang cukup banyak.
- Sangat cocok untuk pengguna yang suka eksplorasi DE dan WM. Banyak DE dan WM yang disediakan di repo resminya, AUR juga tersedia untuk menambah pilihan DE dan WM yang belum ada di repo resmi. Menghapus instalasi DE dan WM yang sudah tidak digunakan tidak membuat berantakan DE dan WM lainnya.

Yang saya tidak sukai dari Archlinux :
- Proses instalasi hingga setup agar OS siap digunakan cukup memakan waktu, tidak cocok buat pengguna yang mager.
- Kurangnya dukungan untuk "program enterprise" yang membutuhkan dependensi library lawas misalnya AMD Vivado, ada script instalasi di AUR namun seringkali tidak bisa jalan.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Inheritance (Pewarisan) di Java

Review Singkat Pilihan Transportasi Umum Rute Solo - Wonosobo

List Jurnal Ilmu Komputer / Informatika Terakreditasi SINTA